About

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 18 Mei 2012

Wakaf Kelas X Semester Genap

 
 
 
 
 
 
i
 
Rate This
Quantcast
Kelas X Semester Genap
Bab X
WAKAF

Pengertian
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Rukun Wakaf
Rukun Wakaf terdiri dari empat macam, yaitu:
  1. orang yang berwakaf (al-waqif).
  2. benda yang diwakafkan (al-mauquf).
  3. orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi).
  4. lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Syarat-Syarat Wakaf
  1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
  2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
  3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
  4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
Peraturan Wakaf di Indonesia
Undang undang yang mengatur tentang wakaf di Indonesia diatur dalam UU no 41 tahun 2004. Baca lengkap disiniUU WAKAF

MATERI FIQIH KELAS X SEMESTER GENAP

I. KEPEMILIKAN DAN AKAD
Resume oleh: M.Jaelani, S. Ag

A. KEPEMILIKAN (MILKIYAH)

1. Pengertian Milkiyah
Milkiyah menurut bahasa berasal dari kata (مِلْْكٌ) artinya: sesuatu yang berada dalam kekuasaannya, sedang milkiyah menurut istilah adalah suatu harta atau barang yang secara hukum dapat dimiliki oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada orang lain.
“ Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu …“(QS. Al Ahzab : 50)

Menjaga dan mempertahankan hak milik hukumnya wajib, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :




“ Siapa yang gugur dalam mempertahankan hartanya ia syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan darahnya ia syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan agamanya ia syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan keluarganya ia syahid “(HR. Bukhari dan Muslim).

2. Sebab-sebab Kepemilikan
a. Barang atau harta itu belum ada pemiliknya secara sah (Ihrazul Mubahat).
Contohnya : Ikan di sungai, ikan di laut, hewan buruan, Burung-burung di alam bebas, air hujan dan lain-lain.
b. Barang atau harta itu dimiliki karena melalui akad (bil Uqud), contohnya : lewat jual beli,
hutang piutang, sewa menyewa, hibah atau pemberian dan lain-lain.
c. Barang atau harta itu dimiliki karena warisan (bil Khalafiyah), contohnya : mendapat bagian harta pusaka dari orang tua, mendapat barang dari wasiat ahli waris.
d. Harta atau barang yang didapat dari perkembang biakan (Attawalludu minal mamluk)
Contohnya : Telur dari ayam yang dimiliki, anak sapi dari sapi yang dimiliki dan lain-lain.

3. Macam-macam Kepemilikan
Kepemilikan terhadap suatu harta ada tiga macam, yaitu :
a. Kepemilikan penuh (milk-taam), yaitu penguasaan dan pemanfaatan terhadap benda atau harta yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan secara hukum.
b. Kepemilikan materi, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas kepada penguasaan materinya saja.
c. Kepemilikan manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas kepada pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan secara hukum untuk menguasai harta itu.

Menurut Dr. Husain Abdullah kepemilikan dapat dibedakan menjadi :
a. Kepemilikan pribadi (Individu), yaitu suatu harta yang dimiliki seseorang atau kelompok,
namun bukan untuk umum, Contohnya: Rumah, Mobil, Sawah dan lain-lain.
b. Kepemilikan publik (umum), yaitu harta yang dimiliki oleh banyak orang. Contohnya: Jalan Raya, laut, lapangan Olah Raga dan lain-lain.
c. Kepemilikan Negara
Contohnya: Gedung Sekolah Negeri, Gedung Pemerintahan, Hutan dan lain-lain.

4. Ihrazul Mubahat dan Khalafiyah
a. Ihrazul Mubahat
1). Pengertian Ihrazul Mubahat (Barang bebas), maksudnya adalah bolehnya seseorang memiliki harta yang tidak bertuan (belum dimiliki oleh seseorang atau kelompok).
2). Syarat Ihrazul Mubahat
Syarat untuk terpenuhinya ihrazul mubahat adalah sebagai berikut :
a. Benda atau harta yang ditemukan itu belum ada yang memilikinya.
b. Benda atau harta yang ditemukan itu memang dimaksudkan untuk dimilikinya.
Contohnya : burung yang menyasar dan masuk kerumah.

b. Khalafiyah
1). Pengertian Khalafiyah
Khalafiyah adalah bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru ditempat yang lama yang sudah tidak ada dalam berbagai macam hak.
2). Macam-macam Khalafiyah
a. Khalafiyah Syakhsyi ’an syakhsy (seseorang terhadap seseorang)
adalah kepemilikan suatu harta dari harta yang ditinggalkan oleh pewarisnya, sebatas memiliki harta bukan mewarisi hutang si pewaris.

b. Khalafiyah syai’in ‘an syai’in (sesuatu terhadap sesuatu)
Adalah kewajiban seseorang untuk mengganti harta / barang milik orang lain yang dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari barang tersebut.

5. Ihyaul Mawat
a. Pengertian Ihyaul Mawat
Ihyaul Mawat ialah upaya untuk membuka lahan baru atas tanah yang belum ada pemiliknya. Misalnya, membuka hutan untuk lahan pertanian, menghidupkan lahan tandus menjadi produktif yang berasal dari rawa-rawa yang tidak produktif atau tanah tandus lainnya agar menjadi produktif.
b. Hukum Ihyaul Mawat
Menghidupkan lahan yang mati hukumnya boleh (mubah) berdasarkan hadits
Rasulullah SAW, sebagai berikut :


“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi haknya, orang yang
mengalirkan air dengan dzalim tidak mempunyai haknya”(HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan Tirmidzi).
c. Syarat membuka lahan baru
1). Tanah yang dibuka itu cukup hanya untuk keperluannya saja, apabila lebih orang lain boleh mengambil sisanya.
2). Ada kesanggupan dan cukup alat untuk meneruskanya, bukan semata-mata sekedar untuk menguasai tanahnya saja.
d. Hikmah Ihyaul Mawat
1). Mendorong manusia untuk bekerja keras dalam mencari rezeki.
2). Munculnya rasa kemandirian dan percaya diri bahwa di dalam jagad raya ini terdapat potensi alam yang dapat dikembangkan untuk kemaslahatan hidup.
3). Termanfaatkannya potensi alam sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah atas kemampuan manusia dalam bidang IPTEK.

6. Hikmah Kepemilikan
Ada beberapa hikmah disyari’atkannya kepemilikan dalam Islam, antara lain :
a. Terciptanya rasa aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Terlindunginya hak-hak individu secara baik.
c. Menumbuhkan sikap kepedulian terhadap fasilitas-fasilitas umum.
d. Timbulnya rasa kepedulian sosial yang semakin tinggi.

B. AKAD

1. Pengertian dan Dasar Hukum Akad
Akad menurut bahasa artinya ikatan atau persetujuan, sedangkan menurut istilah akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan. Contohnya : akad jual beli, akad sewa menyewa, akad pernikahan.
Dasar hukum dilakukannya akad adalah :

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS. Al Maidah : 1).
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu
hukumnya wajib.

2. Rukun akad dan Syarat akad
Adapun rukun akad adalah :
a. Dua orang atau lebih yang melakukan akad (transaksi) disebut Aqidain.
b. Sighat (Ijab dan Qabul).
c. Ma’qud ‘alaih (sesuatu yang diakadkan).

Sementara itu syarat akad adalah sebagai berikut :
1. Syarat orang yang bertransaksi antara lain : berakal, baligh, mumayis dan orang yang dibenarkan secara hukum untuk melakukan akad
2. Syarat barang yang diakadkan antara lain : bersih, dapat dimanfaatkan, milik orang yang melakukan akad dan barang itu diketahui keberadaannya.
3. Syarat sighat: dilakukan dalam satu majlis, ijab dan qabul harus ucapan yang bersambung, ijab dan qabul merupakan pemindahan hak dan tanggung jawab.

3. Macam-macam Akad

Ada beberapa macam akad, antara lain:
1. Akad lisan, yaitu akad yang dilakukan dengan cara pengucapan lisan.
2. Akad tulisan, yaitu akad yang dilakukan secara tertulis, seperti perjanjian pada kertas bersegel atau akad yang melalui akta notaris.
3. Akad perantara utusan (wakil), yaitu akad yang dilakukan dengan melalui utusan atau wakil kepada orang lain agar bertindak atas nama pemberi mandate
4. Akad isyarat, yaitu akad yang dilakukan dengan isyarat atau kode tertentu.
5. Akad Ta’athi (saling memberikan), akad yang sudah berjalan secara umum. Contoh: beli makan di warung, harga dan pembayaran dihitung pembeli tanpa tawar menawar.

4. Hikmah Akad
Ada beberapa hikmah dengan disyariatkannya akad dalam muamalah, antara lain:
a. Munculnya pertanggung jawaban moral dan material.
b. Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
c. Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak.
d. Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.
e. Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas.

II. JUAL BELI dan KHIYAR

A. JUAL BELI
1. Pengertian dan Dasar hukum Jual Beli
Menurut bahasa jual beli berasal dari kata (بَاعَ – يَبِيِعُ – بَيْعًا) artinya tukar menukar sesuatu dengan sesuatu, menurut istilah jual beli adalah suatu transaksi tukar menukar barang atau harta yang mengakibatkan pemindahan hak milik sesuai dengan Syarat dan Rukun tertentu.
Dasar hukum jual beli bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits :
Firman Allah SWT :

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275).
Sabda Rasulullah SAW :


“Pendapatan yang paling utama dari seorang adalah hasil usaha sendiri dan hasil jual beli yang mabrur” (HR. Thabrani).

2. Syarat dan Rukun Jual Beli
a. Syarat Barang yang Diperjual Belikan
1). Barang itu suci, artinya bukan barang najis.
2). Barang itu bermanfaat.
3).Barang itu milik sendiri atau milik orang lain yang telah mewakilkan untuk menjualnya.
4). Barang itu dapat diserah terimakan kepemilikannya.
5). Barang itu dapat diketahui jenis, ukuran, sifat dan kadarnya.

b. Syarat Penjual dan Pembeli
1). Berakal sehat, orang yang tidak sehat pikirannya atau idiot (bodoh), maka akad jual belinya tidak sah.
2). Atas kemauan sendiri, artinya jual beli yang tidak ada unsur paksaan.
3). Sudah dewasa (Baligh), artinya akad jual beli yang dilakukan oleh anak-anak jual belinya tidak sah, kecuali pada hal-hal yang sifatnya sederhana atau sudah menjadi adat kebiasaan. Seperti jual beli es, permen dan lain-lain.
4). Keadaan penjual dan pembeli itu bukan orang pemboros terhadap harta, karena keadaan
mereka yang demikian itu hartanya pada dasarnya berada pada tanggung jawab walinya.

c. Rukun Jual Beli
1). Ada penjual.
2). Ada pembeli.
3). Ada barang atau harta yang diperjual belikan.
4). Ada uang atau alat bayar yang digunakan sebagai penukar barang.
5). Ada lafadz ijab qabul, yaitu sebagai bukti akan adanya kerelaan dari kedua belah pihak.

3. Jual Beli yangTerlarang

a. Jual beli yang sah tapi terlarang, antara lain:
1). Jual beli yang harganya diatas/dibawah harga pasar dengan cara menghadang penjual
sebelum tiba dipasar. Sabda Nabi SAW dari Ibnu Abbas ra.:


“Janganlah kamu menghadang orang yang berangkat kepasar”(Muttafaq Alaih).
2). Membeli barang yang sudah dibeli atau dalam proses tawaran orang lain. Sabda Nabi SAW :


“Janganlah seseorang menjual sesuatu yang telah dibeli orang lain” (Muttafaq Alaih).
3). Jual beli barang untuk ditimbun supaya dapat dijual dengan harga mahal dikemudian
hari, padahal masyarakat membutuhkannya saat itu. Sabda Rasulullah SAW :


“Tidak ada yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah)” (HR. Muslim).
4). Jual beli untuk alat maksiat:
Firman Allah SWT :

“Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”(QS. Al Maidah: 2).
5). Jual beli dengan cara menipu, sabda Nabi SAW :


“Nabi melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipuan”(HR. Muslim).
6). Jual beli yang mengandung riba, Firman Allah SWT. :


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”(QS. Ali Imran: 130).

b. Jual beli terlarang dan tidak sah, yaitu :
1). Jual beli sperma binatang, Sabda Nabi SAW. dari Jabir ra.:


“Nabi SAW. telah melarang menjual air mani binatang jantan” (HR. Muslim dan Nasa’i).
2). Menjual anak ternak yang masih dalam kandungan induknya.
sabda Nabi SAW.dari Abu Hurairah ra.:
ا

“Bahwa Nabi SAW. melarang menjual belikan anak ternak yang masih dalam kandungan induknya” (HR Al Bazzar).
3). Menjual belikan barang yang baru dibeli sebelum diserah terimakan kepada pembelinya,
sabda Nabi SAW. :


“Janganlah kamu menjual sesuatu yang kamu beli sebelum kamu terima”(HR. Ahmad dan Al Baihaqy).
4). Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya, Sabda Nabi SAW. dari Ibnu Umar ra. :


“Nabi SAW. Telah melarang menjual buah-buah yang belum tampak manfaatnya”
(Muttafaq Alaih).

4. Hikmah Jual Beli
1. Membentuk kepribadian Muslim yang terhindar dari kepemilikan harta secara batil. (QS. An Nisa : 29).
2. Membentuk kepribadian Muslim yang terhindar dari kepemilikan harta secara riba (QS. Al Baqarah : 275).
3. Mendorong untuk saling menolong sesama manusia sehingga mempunyai nilai sosial kemasyarakatan (QS. Al Maidah : 2).
4. Melaksanakan hukum yang dihalalkan Allah SWT. Dan menjauhi yang diharamkan. (QS. Al Baqarah : 275).
5. Mendidik pihak penjual dan pembeli agar memiliki sifat-sifat tenggang rasa, saling hormat menghormati, lapang dada dan tidak tergesa-gesa.
Sabda Nabi SAW. Dari Jabir ra.:



“Allah memberi rahmat kepada orang yang berlapang dada pada saat menjual, pada saat membeli dan pada saat menagih hutang (HR. Bukhari dan Tirmidzi).


B. KHIYAR

Khiyar menurut bahasa artinya memilih yang terbaik, sedangkan menurut istilah khiyar ialah : memilih antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkan atas dasar pertimbangan yang matang dari pihak penjual dan pembeli.

1. Jenis-jenis Khiyar
Khiyar ada 3 macam, yaitu :
a. Khiyar Majlis, artinya memilih untuk melangsungkan atau mmembatalkan akad jual beli sebelum keduannya berpisah dari tempat akad. Sabda Rasulullah SAW. :





“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (meneruskan atau mengurungkan) jual belinya selama keduanya belum berpisah” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Khiyar Syarat, yaitu khiyar yang dijadikan syarat waktu akad jual beli, artinya si pembeli atau si penjual boleh memilih antara meneruskan atau mengurungkan jual belinya selama persyaratan itu belum dibatalkan setelah mempertimbangkan dalam dua atau tiga hari.
Khiyar syarat paling lama tiga hari. Sabda Nabi SAW. :



“Engkau boleh melakukan khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam” (Al Baihaqi dari Ibnu Majah).
c. Khiyar Aibi, yaitu memilih melangsungkan akad jual beli atau mengurungkannya bilamana terdapat bukti cacat pada barang.

2. Hikmah dan Manfaat Khiyar
Adapun hikmah khiyar antara lain adalah :
1. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan jual beli.
2. Menghindarkan kemungkinan terjadinya unsur penipuan dalam jual beli.
3. Mendidik penjual agar bersikap jujur dalam menjelaskan kualitas barang dagangannya.
4. Menghindarkan terjadinya penyesalan dikemudian hari bagi penjual dan pembeli.





“Dari Abu Hurairah RA Nabi SAW. bersabda : Barang siapa mencabut (jual beli) terhadap
orang yang menyesal, maka Allah mencabut kerugiannya” (HR. Al Bazzar



III. MUSAQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

A. MUSAQAH
1. Pengertian dan dasar hukum Musaqah
Menurut bahasa, Musaqah berasal dari kata “As-Saqyu” yang artinya penyiraman. Sedangkan menurut istilah musaqah adalah kerjasama antara pemilik kebun (tanah) dengan petani penggarap, yang hasilnya dibagi berdasarkan perjanjian.
Musaqah hukumnya jaiz (boleh), hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW :


Dari ibnu Umar ra. “bahwasanya Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan syarat akan diberi upah separuh dari hasil tanaman atau buah-buahan yang keluar dari lahan tersebut” (HR. Muttafaq Alaih).

2. Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun Musaqah (Musaqi) adalah sebagai berikut:
a. Pemilik kebun dan petani penggarap (Saqi).
b. Pohon atau tanaman dan kebun yang dirawat.
c. Pekerjaan yang dilaksanakan baik waktu, jenis dan sifat pekerjaannya.
d. Pembagian hasil tanaman atau pohon.
e. Akad, baik secara lisan atau tertulis maupun dengan isyarat.
Sementara itu syarat-syarat musaqah adalah sebagai berikut :
a. Pohon atau tanaman yang dipelihara harus jelas dan dapat dilihat.
b. Waktu pelaksanaan musaqah harus jelas, misalnya: setahun, dua tahun atau sekali panen atau
lainnya agar terhindar dari keributan di kemudian hari.
c. Akad Musaqah yang dibuat hendaknya sebelum nampak buah atau hasil dari tanaman itu.
d. Pembagian hasil disebutkan secara jelas.

3. Masa berakhirnya Musaqah
Akad musaqah akan berakhir apabila :
a. Telah habis batas waktu yang telah disepakati bersama.
b. Petani penggarap tidak sanggup lagi bekerja.
c. Meninggalnya salah satu dari yang melakukan akad.

4. Hikmah Musaqah
1. Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
2. Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
3. Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
4. Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.

B. MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

1. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut bahasa muzara’ah artinya penanaman lahan. Menurut istilah muzara’ah adalah suatu usaha kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dengan petani penggarap yang hasilnya dibagi menurut kesepakatan, dimana benih tanaman dari si Pemilik tanah. Adapun zakat dari hasil kerja sama ditanggung oleh pemilik sawah atau ladang.
Sedangkan mukhabarah adalah kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dengan petani penggarap yang hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak, dimana benih tanaman dari petani penggarap.
Adapun zakat dari hasil usaha tersebut ditanggung oleh penggarap.

2. Rukun dan Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah

a. Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah
1). Pemilik dan penggarap sawah.
2). Sawah atau lading.
3). Jenis pekerjaan yang harus dilakukan.
4). Kesepakatan dalam pembagian hasil (upah).
5). Akad (sighat).

b. Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
1). Pada muzara’ah benih dari pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah benih dari
penggarap.
2). Waktu pelaksanaan muzara’ah dan mukhabarah jelas.
3). Akad muzara’ah dan mukhabarah hendaknya dilakukan sebelum pelaksanaan pekerjaan.
4). Pembagian hasil disebutkan secara jelas.

3. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani
tetapi tidak memiliki tanah garapan.


IV. SYIRKAH
A. SYIRKAH
1. Pengertian dan Macam Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan, kerjasama atau bersama-sama. Menurut istilah syirkah adalah suatu akad dalam bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang modal atau jasa, untuk mendapatkan keuntungan.
Syirkah atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak manfaatnya, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada yang sifatnya antar pribadi, antar group bahkan antar Negara.
Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi kerjasama, didorong oleh keinginan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan keuntungan bersama.
Firman Allah SWT

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah : 2).
Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Syirkah amlak (Syirkah kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena wasiat atau kondisi lain yang menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
2. Syirkah uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Syirkah uqud dibedakan menjadi empat macam :
A. a. Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang permodalan sehingga terkumpul sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :


Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Maka apabila berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar dari perserikatannya itu” (HR. Abu Daud dan Hakim menshohihkannya).
Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak berpendapat bahwa syirkah dagang ini disebut juga dengan qiradl.
b. Syirkah a’mal (serikat kerja/ syirkah ‘abdan)
Syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang bergerak dalam bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.
c. Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan syarat kesamaan modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba yang didapat.
d. Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis.
2. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan sebagai berikut :
 Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan mengetahui pokok-pokok perjanjian.
 Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
 Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan perjanjian.

3. Hukum dan Hikmah Syirkah
Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah mubah/boleh dan sah-sah saja. Namun
apabila terjadi penyimpangan oleh anggota syarikat, maka hal ini sudah tidak benar. Adapun
mengenai syirkah kerja menurut madzhab Syafi’i tidak sah dan tidak boleh.
Mengenai hikmah syirkah dapat dikemukakan disini sebagai berikut :
a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal yang besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan hubungan bilateral
antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk bekerjasama
dengan pihak ekonomi yang lebih kuat
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi pengangguran.

V. JI’ALAH (SAYEMBARA)
1. Pengertian Ji’alah
Menurut bahasa Ji’alah artinya upah atau pemberian. Menurut istilah artinya upah yang diberikan kepada seseorang atas keberhasilannya dalam memenuhi keinginan pemberi upah. Contohnya : seorang yang kehilangan kuda, dia berkata : barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kuda itu, maka aku berikan upah sekian.
2. Hukum Ji’alah
Ji’alah hukumnya mubah (Boleh), dasar hukumnya bermula dari Firman Allah SWT. :

“Penyeru-penyeru itu berkata :”Kami kehilangan Piala Raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan akan menjanjikan terhadapnya“ (QS. Yusuf : 72).

3. Rukun dan Syarat Ji’alah
a. Lafazd (akad) Ji’alah, dengan syarat :
1). Lafazd dapat dimengerti isi dan maksudnya.
2). Mengandung izin untuk melakukan apa yang diharapkan oleh pembuat lafazd.
3). Ada batas tertentu dalam melakukan sayembara.
b. Orang yang menjanjikan upah, syaratnya :
1). Orang yang punya hak memberikan sayembara.
2). Orang yang dibenarkan secara hukum menyelenggarakan sayembara.
c. Pekerjaan (sesuatun yang harus dilakukan), syaratnya :
1). Pekerjaan itu memungkinkan untuk dilakukan oleh manusia.
2). Pekerjaan itu adalah pekerjaan yang tidak mengandung unsur maksiat.
d. Upah, syaratnya diketahui terlebih dahulu sebelum pekerjaan itu dilaksanakan.

4. Hikmah Ji’alah
1). Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan) ;
2). Menumbuhkan sikap saling tolong menolong antar sesama manusia ;
3). Adanya penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan


VI. WAKAF
1. Pengertian Wakaf
Wakaf menurut bahasa berarti “menahan” sedangkan menurut istilah wakaf yaitu memberikan
suatu benda atau harta yang dapat diambil manfaatnya untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat menuju keridhaan Allah SWT.
2. Hukum Wakaf
Hukum wakaf adalah sunat, hal ini didasarkan pada Al-Qur’an.
Firman Allah SWT. :

“Dan berbuatlah kebajikan agar kamu beruntung”(QS. Al Hajj: 77).
Firman Allah SWT.:

“Tidak akan tercapai olehmu suatu kebaikan sebelum kamu sanggup membelanjakan sebagian
harta yang kamu sayangi”
3. Rukun Wakaf
A. Orang yang memberikan wakaf (Wakif).
B. Orang yang menerima wakaf (Maukuf lahu).
C. Barang yang yang diwakafkan (Maukuf).
D. Ikrar penyerahan (akad).

2. 4. Syarat-syarat Wakaf
A. Orang yang memberikan wakaf berhak atas perbuatan itu dan atas dasar kehendaknya sendiri.
B. Orang yang menerima wakaf jelas, baik berupa organisasi atau perorangan.
C. Barang yang diwakafkan berwujud nyata pada saat diserahkan.
D. Jelas ikrarnya dan penyerahannya, lebih baik tertulis dalam akte notaris sehingga jelas dan tidak akan menimbulkan masalah dari pihak keluarga yang memberikan wakaf.
5. Macam-macam Wakaf
Wakaf dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Wakaf Ahly (wakaf khusus), yaitu wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ada ikatan keluarga atau tidak. Misalnya wakaf yang diberikan kepada seorang tokoh masyarakat atau orang yang dihormati.
2. Wakaf Khairy (wakaf untuk umum), yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum. Misalnya wakaf untuk Masjid, Pondok Pesantren dan Madrasah.
6. Perubahan Benda Wakaf
Menurut Imam Syafi’i menjual dan mengganti barang wakaf dalam kondisi apapun hukumnya tidak boleh, bahkan terhadap wakaf khusus (waqaf Ahly) sekalipun, seperti wakaf bagi keturunannya sendiri, sekalipun terdapat seribu satu macam alasan untuk itu.Sementara Imam Maliki dan Imam Hanafi membolehkan mengganti semua bentuk barang wakaf, kecuali masjid. Penggantian semua bentuk barang wakaf ini berlaku, baik wakaf khusus atau umum (waqaf Khairy), dengan ketentuan :
1. Apabila pewakaf mensyaratkan (dapat dijual atau digantikan dengan yang lain), ketika berlangsungnya pewakafan.
2. Barang wakaf sudah berubah menjadi barang yang tidak berguna.
3. Apabila penggantinya merupakan barang yang lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan.
4. Agar lebih berdaya guna harta yang diwakafkan.
7. Hikmah Wakaf
Hikmah disyari’atkannya wakaf, antara lain sebagai berikut :
1. Menanamkan sifat zuhud dan melatih menolong kepentingan orang lain.
2. Menghidupkan lembaga-lembaga sosial maupun keagamaan demi syi’ar Islam dan keunggulan kaum muslimin.
3. Memotivasi umat Islam untuk berlomba-lomba dalam beramal karena pahala wakaf akan terus mengalir sekalipun pemberi wakaf telah meninggal dunia.
4. Menyadarkan umat bahwa harta yang dimiliki itu ada fungsi sosial yang harus dikeluarkan.



HIBAH, SHADAQAH DAN HADIAH
1.
2. A. HIBAH
1. 1. Pengertian dan Hukum Hibah
Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup
tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang.
Firman Allah SWT. :


“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177).
Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah.
Sabda Nabi SAW. :

“Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda, : “Barang siapa yang diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia minta, hendaklah diterima (jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yangdiberikan Allah kepadanya” (HR. Ahmad).
1. 2. Rukun dan Syarat Hibah
A. a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
1. b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
1. c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
1. d. Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
1. 3. Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
1. 4. Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah
orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW. :


“Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
1. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
2. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..
3. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.
1. 5. Beberapa Masalah Mengenai Hibah
A. Pemberian Orang Sakit yang Hampir Meninggal
Hukumnya adalah seperti wasiat, yaitu penerima harus bukan ahli warisnya dan
jumlahnya tidak lebih dari sepertiga harta. Jika penerima itu ahli waris maka hibah itu tidak sah. Jika hibah itu jumlahnya lebih dari sepertiga harta maka yang dapat diberikan kepada penerima hibah (harus bukan ahli waris) hanya sepertiga harta.
1. Penguasaan Orang Tua atas Hibah Anaknya
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang bapak boleh menguasai barang yang
dihibahkan kepada anaknya yang masih kecil dan dalam perwaliannya atau kepada anak yang sudah dewasa, tetapi lemah akalnya. Pendapat ini didasarkan pada kebolehan meminta kembali hibah seseorang kepada anaknya.
1. 6. Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
2. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
3. Dapat mempererat tali silaturahmi
4. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.
1. B. SHADAQAH DAN HADIAH
1. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Shadaqah dan Hadiah
Shadaqah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan dengan harapan mendapat ridla Allah SWT. Sementara hadiah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan sebagai penghormatan atas suatu prestasi. Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk shadaqah. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. :
تَبَسُّمُكَ فِىوَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ (رواهالبخارى)
“Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian dari shadaqah” (HR. Bukhari).
Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam kepada orang diluar Islam atau sebaliknya adalah boleh karena persoalan ini termasuk sesuatu yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan naas).
1. 2. Hukum Shadaqah dan Hadiah
A. Hukum shadaqah adalah sunah
B. Hukum hadiah adalah mubah artinya boleh saja dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Sabda Rasulullah SAW. :

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW.telah bersabda sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, undangan itu pasti saya kabulkan, begitu juga kalau potongan kaki binatang dihadiahkan kepada saya tentu saya terima” (HR. Bukhari).
1. 3. Perbedaan antara Shadaqah dan Hadiah
A. Shadaqah ditujukan kepada orang terlantar, sedangkan hadiah ditujukan kepada orang yang berprestasi.
B. Shadaqah untuk membantu orang-orang terlantar memenuhi kebutuhan pokoknya, sedangkan hadiah adalah sebagai kenang-kenangan dan penghargaan kepada orang yang dihormati.
C. Shadaqah adalah wajib dikeluarkan jika keadaan menghendaki sedangkan hadiah hukumnya mubah (boleh).
1. 4. Syarat-syarat Shadaqah dan Hadiah
A. Orang yang memberikan shadaqah atau hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
B. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar.
C. Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.
D. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.
1. 5. Rukun Shadaqah dan Hadiah
A. Pemberi shadaqah atau hadiah.
B. Penerima shadaqah atau hadiah.
C. Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan memberikan, penerima menyatakan suka.
D. Barang atau Benda (yang dishadaqahkan/dihadiahkan).
1. 6. Hikmah Shadaqah dan Hadiah
A. Hikmah Shadaqah
1). Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah
2). Dapat menghindarkan dari berbagai bencana
3). Akan dicintai Allah SWT.
1. Hikmah Hadiah
1). Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang
2). Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :

“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan
kedengkian” (HR. Abu Ya’la).


“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami).

Kamis, 17 Mei 2012

Pengertian haji

Haji (Bahasa Arab: حج‎, Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.

Definisi

Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1] Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.

Latar belakang ibadah haji

Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul. [2] Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.

Jenis ibadah haji

Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.

Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Diantara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar.[3][1]

Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.[1]

* Haji ifrad, berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah.
* Haji tamattu', mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, ditahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah didalam bulan-bulan serta didalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.
* Haji qiran, mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.

Kegiatan ibadah haji

Berikut adalah kegiatan utama dalam ibadah haji berdasarkan urutan waktu:

* Sebelum 8 Dzulhijjah, umat Islam dari seluruh dunia mulai berbondong untuk melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.
* 8 Dzulhijjah, jamaah haji bermalam di Mina. Pada pagi 8 Dzulhijjah, semua umat Islam memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji), kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah. Jamaah kemudian berangkat menuju Mina, sehingga malam harinya semua jamaah haji harus bermalam di Mina.
* 9 Dzulhijjah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang luas ini hingga Maghrib datang. Ketika malam datang, jamaah segera menuju dan bermalam Muzdalifah.
* 10 Dzulhijjah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina untuk melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu sebanyak tujuh kali ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan. Setelah mencukur rambut atau sebagian rambut, jamaah bisa Tawaf Haji (menyelesaikan Haji), atau bermalam di Mina dan melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha).
* 11 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
* 12 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
* Sebelum pulang ke negara masing-masing, jamaah melaksanakan Thawaf Wada' (thawaf perpisahan).

Makkah Al Mukaromah

Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Ka'bah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Makkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jamaah diwajibkan melaksanakan niat dan thawaf haji.

Arafah

Kota di sebelah timur Makkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji, yiatu tempat wukuf dilaksanakan, yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah tiap tahunnya. Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jamaah haji dari seluruh dunia. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.

Muzdalifah

Tempat di dekat Mina dan Arafah, dikenal sebagai tempat jamaah haji melakukan Mabit (Bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.

Mina

Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Dimasing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jamaah juga diwajibkan untuk menginap satu malam.

Madinah

Adalah kota suci kedua umat Islam. Di tempat inilah panutan umat Islam, Nabi Muhammad SAW dimakamkan di Masjid Nabawi. Tempat ini sebenarnya tidak masuk ke dalam ritual ibadah haji, namun jamaah haji dari seluruh dunia biasanya menyempatkan diri berkunjung ke kota yang letaknya kurang lebih 330 km (450 km melalui transportasi darat) utara Makkah ini untuk berziarah dan melaksanakan salat di masjidnya Nabi. Lihat foto-foto keadaan dan kegiatan dalam masjid ini.

Tempat bersejarah

Berkiut ini adalah tempat-tempat bersejarah, yang meskipun bukan rukun haji, namum biasa dikunjungi oleh para jemaah haji atau peziarah lainnya[4]:

Jabal Nur dan Gua Hira

Jabal Nur terletak kurang lebih 6 km di sebelah utara Masjidil Haram. Di puncaknya terdapat sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Hira. Di gua inilah Nabi Muhammad saw menerima wahyu yang pertama, yaitu surat Al-'Alaq ayat 1-5.

Jabal Tsur

Jabal Tsur terletak kurang lebih 6 km di sebelah selatan Masjidil Haram. Untuk mencapai Gua Tsur ini memerlukan perjalanan mendaki selama 1.5 jam. Di gunung inilah Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar As-Siddiq bersembunyi dari kepungan orang Quraisy ketika hendak hijrah ke Madinah.

Jabal Rahmah

Yaitu tempat bertemunya Nabi Adam as dan Hawa setelah keduanya terpisah saat turun dari surga. Peristiwa pentingnya adalah tempat turunnya wahyu yang terakhir pada Nabi Muhammad saw, yaitu surat Al-Maidah ayat 3.

Jabal Uhud

Letaknya kurang lebih 5 km dari pusat kota Madinah. Di bukit inilah terjadi perang dahsyat antara kaum muslimin melawan kaum musyrikin Mekah. Dalam pertempuran tersebut gugur 70 orang syuhada di antaranya Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad saw. Kecintaan Rasulullah saw pada para syuhada Uhud, membuat beliau selalu menziarahinya hampir setiap tahun. Untuk itu, Jabal Uhud menjadi salah satu tempat penting untuk diziarahi.

Makam Baqi'

Baqi' adalah tanah kuburan untuk penduduk sejak zaman jahiliyah sampai sekarang. Jamaah haji yang meninggal di Madinah dimakamkan di Baqi', letaknya di sebelah timur dari Masjid Nabawi. Di sinilah makam Utsman bin Affan ra, para istri Nabi, putra dan putrinya, dan para sahabat dimakamkan. Ada banyak perbedaan makam seperti di tanah suci ini dengan makam yang ada di Indonesia, terutama dalam hal peletakan batu nisan [5]

Masjid Qiblatain

Pada masa permulaan Islam, kaum muslimin melakukan shalat dengan menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina. Pada tahun ke-2 H bulan Rajab pada saat Nabi Muhammad saw melakukan shalat Zuhur di masjid ini, tiba-tiba turun wahyu surat Al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan agar kiblat shalat diubah ke arah Kabah Masjidil Haram, Mekah. Dengan terjadinya peristiwa tersebut maka akhirnya masjid ini diberi nama Masjid Qiblatain yang berarti masjid berkiblat dua.

Rekaman tragedi ibadah haji

* Desember 1975: 200 jamaah tewas di dekat kota Makkah setelah sebuah pipa gas meledak dan membakar sepuluh tenda.
* 4 Desember 1979: 153 jamaah tewas dan 560 lainnya terluka setelah petugas keamanan Arab Saudi yang dibantu tentara Perancis mencoba membebaskan Masjidil Haram yang disandera sekelompok militan selama dua minggu.
* 31 Juli 1987: 402 jamaah tewas, 275 diantaranya dari Iran, setelah ribuan jamaah Iran yang melakukan demonstrasi mendapat perlawanan fisik dari keamanan Arab Saudi. Akibat dari insiden itu Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, yang akhirnya tidak mengirimkan jamaahnya ke Makkah hingga tahun 1991.
* 10 Juli 1989: satu jamaah tewas dan 16 terluka akibat penembakan didalam Masjidil Haram. Akibatnya 16 orang Kuwait yang melakukan penyerangan dihukum tembak mati.
* 15 Juli 1989: lima jamaah asal Pakistan tewas dan 34 lainnya terluka akibat insiden penembakan oleh sekelompok orang bersenjata di perumahan mereka di Makkah.
* 2 Juli 1990: 1.426 jamaah tewas kebanyakan dari Asia akibat terperangkap didalam terowongan Mina.
* 24 Mei 1994: 270 jamaah tewas akibat saling dorong dan injak di Mina.
* 7 Mei 1995: tiga jamaah tewas akibat kebakaran di Mina.
* 15 April 1997: 343 jamaah tewas dan 1.500 lainnya terluka karena kehabisan nafas karena terjebak didalam kebakaran tenda di Mina.
* 9 April 1998: 118 jamaah tewas karena berdesak–desakkan saat pelaksanaan lontar jumroh.
* 5 Maret 2001: 35 jamaah tewas serta puluhan lainnya luka – luka karena berdesak – desakan di Jammarat.
* 11 Februari 2003: 14 jamaah tewas di Jumrotul Mina – enam diantaranya wanita.
* 1 Februari 2004: Sebanyak 251 jamaah tewas selama pelaksanaan lontar jumrah.
* 23 Januari 2005: 29 jamaah tewas akibat banjir terburuk dalam 20 tahun terakhir di Madinah.
* 5 Januari 2006: Sebanyak 76 tewas akibat runtuhnya sebuah penginapan al-Rayahin di jalan Gaza, sekitar 200 meter sebelah barat Masjidil Haram.
* 12 Jan 2006: Sedikitnya 345 jamaah tewas di Jammarat selama pelaksanaan lontar jumrah. Insiden ini terjadi pada pukul 15.30 waktu setempat usai shalat dzuhur, setelah jutaan jamaah saling berdesak–desakkan di pintu masuk sebelah utara lantai dua Jammarat.

* Istilah Haji pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, bermakna "raja bawahan". Dalam kesusastraan Jawa Baru, istilah Haji atau Aji masih tetap bermakna "raja".
* Adapun bahasa Jawa untuk Hajj (rukun Islam) adalah Kaji.

makalah fiqih munakahat

BAGIAN 1
MUQADDIMAH

PENGERTIAN NIKAH
secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad.
secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .

HIKMAH NIKAH
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)



VISI ISLAM TENTANG KELUARGA/RUMAH TANGGA
Visi Rasulullah saw tentang keluarga adalah “baiti jannati”. Sebuah keluarga akan menjadi “surga kecil” jika ia memenuhi empat fungsi berikut :

Fungsi Pertama : FUNGSI FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.

Fungsi Kedua : FUNGSI PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.

Fungsi Ketiga : FUNGSI SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.

Fungsi Keempat : FUNGSI DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan.

BAGIAN 2
HUKUM DAN JENIS NIKAH

HUKUM NIKAH
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
1. Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
2. Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
3. Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
4. Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
5. Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.

JENIS NIKAH
Imam Daruquthni mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa ‘Aisyah ra menyebutkan adanya 4 jenis nikah pada masa jahiliyah (sebelum Muhammad saw menjadi rasul) :
1. Perkawinan Pinang, yaitu seorang pria datang meminang seorang wanita baik secara langsung atau melalui wali si wanita, kemudian menikahinya dengan mahar.
2. Perkawinan Gadai/Pinjam, yaitu seorang isteri yang diperintah suaminya untuk berkumpul dengan pria lain hingga hamil, demi mendapatkan keturunan atau perbaikan keturunan.
3. Poliandri, yaitu sejumlah pria (biasanya kurang dari 10 orang) secara bergilir mencampuri seorang wanita dengan kesepakatan bahwa jika wanita itu hamil dan melahirkan, maka kesemua pria tersebut harus ridha bila kemudian salah satu dari merekalah yang ditunjuk oleh si wanita sebagai ayah dari anak tersebut.
4. Pelacur, yaitu seorang wanita yang memasang bendera hitam di depan rumahnya sebagai tanda siapapun yang berkehendak kepadanya boleh masuk dan menggaulinya. Bila hamil dan melahirkan, kemudian si wanita mengumpulkan seluruh pria yang pernah menyetubuhinya dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti nasab anak itu lalu memberikan sang bayi kepada sang ayah yang harus tak boleh menolak.
Pada masa Muhammad saw telah menjadi rasulullah, muncul pula jenis-jenis nikah dalam bentuk lain :
5. Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya kepada seorang pria dengan syarat pria tersebut menikahkannya kepada putrinya dengan tanpa mahar.
6. Nikah Mut’ah, yaitu pria yang menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu.
7. Nikah Muhallil, yaitu seorang pria A yang menyuruh/membayar (muhallal) seorang pria B (muhallil) untuk menikahi wanita yang pernah dinikahi dan dithalaq sebanyak tiga kali agar dapat dinikahi pria A setelah diceraikan oleh pria B.
8. Nikah Ahli Kitab, yaitu seorang pria mu’min yang menikahi wanita beragama samawi (Yahudi atau Nashrani).
Perhatikan : Hanya jenis nikah nomor 1 (Perkawinan Pinang) yang dihalalkan dalam syari’at Islam.

BAGIAN 3
KHITBAH
PENGERTIAN KHITBAH
secara bahasa : pinangan, lamaran.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara langsung maupun tak langsung

HIKMAH KHITBAH
1. Cara untuk saling mengenal antara calon pasangan suami isteri.
2. Cara untuk mengetahui tabiat, akhlaq dan kecenderungan masing-masing calon pasangan suami isteri.
3. Cara untuk mencapai kemufakatan kedua belah atas berbagai perkara yang prinsipil dan teknis dalam membentuk keluarga.

JENIS KHITBAH
1. Secara langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan yang lugas.
2. Secara tak langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan atau sindiran.

BEBERAPA KETENTUAN DAN ADAB KHITBAH
Pertama : KHITBAH BUKANLAH AQAD NIKAH
Khitbah bukanlah pernikahan itu sendiri. Ia tak lain hanyalah janji untuk menikah, sehingga tidak akan ada konsekwensi hukum pernikahan, seperti misalnya : halalnya khalwat, halalnya senggama, kewajiban nafkah, dsb. Jadi, interaksi antara keduanya haruslah terpelihara dari pelanggaran batas-batas syari’at. Tunangan (saling bertukar cincin) bukanlah penghalal hubungan. Pemberian apapun yang mengiringinya dipandang syari’at sebagai sesuatu yang tidak boleh mengikat dan tak dapat dikenakan syarat apapun.

Kedua : KHITBAH DILAKUKAN DENGAN TETAP MEMELIHARA PANDANGAN
Dr. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan muatan QS. An Nuur (24) : 30-31 bahwa pada dasarnya memandang lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan dengan mematuhi 2 syarat :
1. tidak didasari oleh syahwat
2. tidak memanipulasi kelezatan dari pandangan tersebut.
Kaidah tersebut berlaku pula dalam khitbah. Syari’at mengarahkan memandang dalam khitbah melalui dua cara :
1. mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk melihat dan melakukan investigasi
2. melihat/menemui langsung
Ketiga : KHITBAH DI ATAS KHITBAH ADALAH HARAM
Para ‘ulama bersepakat mengharamkan khitbah atas seorang wanita yang telah dikhitbah sebelumnya oleh orang lain.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah pernah berkata : “Janganlah seorang diantaramu membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan jangan pula mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, kecuali ia mengizinkan.” (HR Muslim dengan sanad shahih). Dalam matan hadits riwayat Bukhari : “Rasulullah saw melarang seorang membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan melarang mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, hingga ia meninggalkannya atau mengizinkannya.”

Keempat : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KEPUTUSAN SEORANG GADIS
Seorang gadis memiliki hak menerima atau menolak pinangan yang diajukan kepadanya. Walinya tidak berhak memaksakan kehendaknya kepada sang gadis. Diantara syarat sah pernikahan yang paling asasi adalah kerelaan calon isteri.
Rasulullah bersabda : “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan gadis dimintakan izinnya, dan izinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam periwayatan lainnya : “Tidak boleh dinikahkan seorang janda hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh dinikahkan seorang gadis hingga diminta izinnya. Para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, lalu bagaimana izinnya ?” Rasulullah saw menjawab : “Ia diam.” (HR. Jama’ah)

Kebalikannya, bila seorang gadis telah menyetujui pinangan yang diajukan kepadanya, maka walinya tidak boleh menunda untuk menyegerakan pernikahannya.
Rasulullah bersabda : “Tiga yang jangan diperlambat : Shalat bila sudah waktunya, jenazah bila sudah didatangkan dan gadis bila sudah menemukan calon suami yang sekufu’ .” (HR. Tirmidzi)
Kelima : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KUFU’(KESEPADANAN)
Khitbah dalam Islam lebih menitikberatkan kesepadanan calon suami dengan calon isteri dalam aspek diin dan akhlaq (QS. An Nuur : 3 & 26), selain aspek sosial, ekonomi, ilmu, dsb.

Keenam : KHITBAH MEMPERKENANKAN HADIAH TAK BERSYARAT
Diperbolehkan adanya tukar cincin ataupun benda lain dalam khitbah, bila maksudnya sebatas saling memberikan hadiah tak mengikat/tak bersyarat dan selama tak ada anggapan bahwa pemberian itu menghalalkan hukum suami-isteri.
Rasulullah bersabda : “Wanita manapun yang dinikahi dengan mahar dan hadiah sebelum ikatan nikah maka mahar itu baginya dan bagi walinya jika ia diberikan sesudahnya.” (HR. Al Khomsah kecuali Tirmidzi)

BAGIAN 4
AKAD NIKAH
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.

RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.

Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.

Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari no. c)
f) Anak laki-laki dari no. d)
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari no. g)
j) Anak laki-laki dari no. h)
k) Hakim

5. Adanya saksi (2 orang pria).

Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula

BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN PENYELENGGARAAN AQAD NIKAH
1. Khutbah Nikah.
Disunnahkan sebelum aqad nikah berlangsung, dihadirkan khutbah nikah untuk memberikan wasiat dan bekalan ruhiah kepada kepada mempelai bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan agar dapat mengarungi biduk rumah tangga secara sakinah, mawaddah dan rahmah. Khutbah dapat dilakukan oleh wali ataupun yang lain.
2. Mendoakan kedua mempelai.
3. Adab Malam Pengantin
a. Suami meletakkan telapak tangan kanannya ke kening isterinya dan mendo’akannya
b. Suami bersikap lembut dan menaungi isterinya
c. Saling beradaptasi dan memunculkan suasana harmonis

BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN WALIMATUL ‘URSY
secara bahasa : walimah = berkumpul.
secara syar’i : a) pesta/resepsi perkawinan.
b) makanan yang dihidangkan dalam acara pesta/resepsi perkawinan.
Hukum menghadiri walimatul’ursy adalah fardhu. Sedangkan memenuhi undangan selain walimatul’ursy, para fuqaha berikhtilaf antara fardhu kifayah dan sunnah.

BAGIAN 5
JIMA’
PENGERTIAN JIMA’
secara bahasa : sumber segala sesuatu, tempat bernaung/berlindung, ajakan untuk berkumpul.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara langsung maupun tak langsung

BEBERAPA ISTILAH JIMA’ DALAM AL QUR-AN & AS SUNNAH
1. Mulaamasah (QS. An Nisaa’ : 43).
2. Rafats & Mubaasyarah (QS. Al Baqarah : 187).
3. Massun (QS. Maryam : 20).
4. Wathun.
5. Massulkhitaanain.

HUKUM JIMA’
Jima’ merupakan nafkah batin yang wajib ditunaikan oleh suami. Ia merupakan hak isteri atas suami selama tak ada hal-hal yang menghalangi. Bobot/kadar kewajibannya menjadi ikhtilaaf dikalangan para fuqaha :
Madzhab Hanafiah : Isteri berhak meminta suami untuk melakukan hubungan seksual.
Madzhab Malikiah : jima’ wajib bagi suami jika tak ada faktor ‘udzur.
Madzhab Syafi’iah : suami tidak wajib melakukan hubungan seksual kecuali hanya sekali.
Madzhab Hanablah : suami wajib melakukan hubungan seksual minimal sekali per 4 bulan bila tak ada ‘udzur.

ETIKA JIMA’
1. Berhias dan berwewangian.
2. Mencumbu-rayu yang membangkitkan gairah seksual.
3. Berdoa sebelum jima’.
4. Berwudhu ketika hendak mengulangi, hendak makan atau tidur (bila belum mandi junub).
5. Tidak melakukan jima’ pada saat :
a. kecuali isteri selesai bersuci dari haid atau nifas (QS. Al Baqarah : 222).
b. Isteri sedang puasa wajib (QS. Al Baqarah : 187).
c. Suami/isteri sedang i’tikaaf (QS. Al Baqarah : 187).
d. Suami/isteri sedang thawaaf (QS. Al Baqarah : 197).
6. Tidak melakukan jima’ melalui dubur (anal sex).
7. Tidak melakukan ‘azl (coitus interuptus) tanpa seizin isteri.
8. Tidak menceritakan ‘rahasia kamar’ kepada orang lain.
Ada beberapa pertanyaan yang harus mendapatkan penjabaran yang arif dan dengan hujjah yang kuat untuk perlu diketahui oleh semua kaum muslimin adalah sebagai berikut :
Bagaiamana syari’at mengatur tentang gaya & posisi jima’ ? Lihat QS. Al Baqarah : 223.
- Haruskah jima’ dilakukan dengan mengenakan tutup ?
- Bolehkah melihat kemaluan (farji) dari pasangan kita saat melakukan jima’ ?
- Bagaimana pandangan syari’at tentang oral sex ?
- Bagaimana caranya mandi junub ? Lihat QS. An Nisaa’ : 43
- Bagaimana pandangan syari’at tentang ‘bulan madu’ ?

BAGIAN 6
HAK & KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
PENGERTIAN JIMA’
secara bahasa : sumber segala sesuatu, tempat bernaung/berlindung, ajakan untuk berkumpul.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara langsung maupun tak langsung

HAK KHUSUS ISTERI ATAS SUAMI
1. Menunaikan maharnya secara utuh/sempurna (QS. An Nisaa’ : 4, 20).
2. Nafkah materiil (QS. Al Baqarah : 233).
3. Interaksi yang baik & positif kepada isteri (QS. An Nisaa’ : 19) :
a. Melapangkan nafkah (QS. Al Haaqqah : 7).
b. Bermusyawarah dalam berbagai urusan
c. Memperlakukan isteri dengan lemah lembut, mesra dan memberikan kesempatan senda gurau
d. Melupakan kekurangan isteri, dengan mengunggulkan kebaikannya.
e. Menjaga performa dan penampilan baik di hadapan isteri.
f. Meringankan bebanan kerja domestik isteri.
4. Melindung isteri dari api neraka (QS. At Tahriim : 6)

HAK KHUSUS SUAMI ATAS ISTERI
1. Tha’at dengan sebaiknya.
2. Menjaga & mengelola harta suami dengan baik (QS. An Nisaa’ : 34).
3. Menjaga kemuliaannya & perasaannya
4. Mengatur rumah dan mendidik anak-anaknya.
5. Berbuat baik kepada keluarga suami.

HAK UMUM BERSAMA SUAMI-ISTERI
1. Saling bekerja sama dalam mentha’ati Allah dan taqwa kepadaNya.
2. Saling bekerja sama dalam mewujudkan kebahagiaan dan menghindarkan kenestapaan.
3. Saling bekerja sama dalam membangun keluarga dan mendidik anak.
4. Saling bekerja sama dalam menjaga rahasia.
5. Saling melayani

BAGIAN 7
NUSYUZ DAN THALAQ
A. NUSYUZ

PENGERTIAN NUSYUZ
secara bahasa : menentang, durhaka, sesuatu yang meninggi (irtifaa’)
secara syar’i : isteri yang menentang suami, mengabaikan perintah dan membencinya.

KONSEKUENSI NUSYUZ
Bila didapat adanya indikasi nusyuz maka syari’at menerakan beberapa konsekwensi dicabutnya beberapa hak isteri :
a. nafkah
b. pakaian
c. gilir (bagi yang berpologami)

TAHAPAN SOLUSI NUSYUZ
Lihat QS. An Nisaa’ : 34-35. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
1. Menasehati.
2. Pisah ranjang
3. Pukul
4. Mendatangkan hakam dari masing-masing pihak.

B. THALAQ

PENGERTIAN THALAQ
secara bahasa : pelepasan (ithlaaq), hallul_qayyidu (mengurai ikatan)
secara syar’i : seorang suami memutuskan jalinan pernikahan yang sah pernyataan yang jelas maupun kiasan.

HUKUM THALAQ
Para fuqaha bersepakat bahwa thalaq adalah mubah meskipun dibenci. Lihat QS. Al Baqarah : 229 , Ath_Thalaaq : 1 dan An_Nisaa’ : 1. dari beberapa ayat tersebut, dapat ditarik konklusi pemahaman :
Thalaq adalah bagian dari solusi, yang pada kondisi tertentu juteru adalah solusi terbaik.
Thalaq adalah akad cerai suami kepada isteri, bukan sebaliknya. Adapun akad cerai isteri kepada suami disebut khulu’.

RUKUN THALAQ
Thalaq dianggap sah secara hukum apabila memenuhi rukun-rukun di bawah ini :
1. Suami yang mukallaf.
2. Yang ditthalaq adalah isteri yang sah.
3. Adanya lafazh thalaq secara langsung, baik dengan pernyataan yang jelas maupun kinayah.

BEBERAPA BENTUK PERCERAIAN SELAIN THALAQ
1. Khulu’ : isteri menggugat suami agar suami menceraikannya, dengan mendapatkan kompensasi tebusan.
2. Zhihar : suami menceraikan isterinya dengan akad “Punggungmu seperti punggung ibuku”;
ini diharamkan dalam Islam. (QS. 58:2-4)
3. Ilaa’ : sumpah suami untuk tidak menggauli isterinya (maks. 40 hari);
ini dibolehkan selama tujuannya mendidik. (QS. 2:226-227)
4. Li-an : suami menuduh isterinya telah berzina dan/atau menafikan anak yang dikandungnya.

BAGIAN 8
RUJU’ DAN ‘IDDAH
A. RUJU’

PENGERTIAN RUJU’
secara bahasa : kembali, menahan.
secara syar’i : keinginan suami untuk kembali kepada isterinya pasca perceraian. Lihat QS. Al Baqarah : 228

JENIS RUJU’
Lihat QS. An Nisaa’ : 34-35. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
1. Ruju’ Thalaq Raj’i : ruju’nya suami kepada isteri sebelum selesai masa ‘iddah; cukup dengan ucapan atau jima’, tanpa harus adanya tajdiidun_nikaah.
2. Ruju’ Thalaq Ba’in : ruju’nya suami kepada isteri setelah selesai masa ‘iddah; harus adanya tajdiidun_nikaah.
a. Ba’in Shughra : Thalaq ke-1 & ke-2
b. Ba’in Kubro : Thalaq ke-3, bisa ruju’ setelah isteri menikah dengan pria lain.

B. ‘IDDAH

PENGERTIAN ‘IDDAH
secara bahasa : menghitung (‘adda)
secara syar’i : masa tunggu (kosongnya rahim dari pembuahan) seorang wanita yang telah dicerai.

HIKMAH ‘IDDAH
1. Menjaga dan memelihara dari rusaknya nasab.
2. Penegasan akan hamil tidaknya seorang wanita setelah perceraian.
3. Memberi kesempatan kepada suami-isteri untuk saling ruju’ dan memperbaiki hubungan.
4. Menginsyafkan bahwa hidup menikah lebih baik dan nikmat ketimbang melajang.
5. Menghormati suami yang meninggal (khusu bagi ‘iddah wafat)

JENIS ’IDDAH
1. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan hamil, waktunya hingga melahirkan. (QS. Ath Thalaq : 4)
2. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan tidak hamil, waktunya 3 kali suci dari haidh. (QS. Al Baqarah : 228)
3. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan belum sempat jima’, maka tak ada masa ‘iddah. (QS. Al Ahzaab : 49)
4. ‘Iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya, waktunya 4 bulan 10 hari. (QS. Al Baqarah : 234)

makalah fikih jinayah

hapusnya hukuman
BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram ). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash, Hudud, Ta’zir “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.

B. Batasan Masalah
. Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah Hapusnya hukuman, hukuman apa saja yang di hapuskan dan sebab-sebab hapusnya hukuman .

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
Mengetahui jenis hukuman, alasan penghapusan hukuman beserta macam dan hikmahnya.

BAB II
HAPUSNYA HUKUMAN


1. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa atau Keputusan yang dijatuhkan Hakim”. Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi.
Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.

2. Macam-Macam Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana.
a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al- Qur’an dan al-Hadist. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian:
 Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
o Hukman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu.

b. Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat yaitu:
• Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang sal bagi suatu kejahatan , seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.
• Hukuman pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang menempati empat pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum diyat bagi pembunuh yang sudah di maafkan qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan.
• Hukuman tambahan (Al-‘Uqubah Al-Thaba’iyah), yaitu: hukuman yang dijatuhkan pada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
• Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan.

Jinayah atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
a. Jarimah Hudud,
b. Jarimah Qishash
c. Jarimah Ta’zir


3. Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan

4. Macam Hukuman Yang tidak Bisa Dihapuskan Dan Yang Bisa Dihapuskan.
4.1. Hukuman Yang Tidak Bisa Dihapuskan
- Jarimah Hudud.
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah:
o Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu berturut-turut tanpa uzur syar’i sesudah dinasihatkan.
o Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.
o Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah.
o Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum kahwin, dirajam sampai mati pada penzina yg sudah kawin.
o Hukuman rotan 80 kali kepad orang yang menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup.
o Rotan 80 kali untuk peminum arak

4.2. Hukuman yang bisa dihapuskan
a. Jarimah Qishosh Diyat.
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain:
- pembunuhan sengaja
- pembunuhan semi sengaja
- pembunuhan keliru
- penganiayaan sengaja
- penganiayaan
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, ” Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
b. Jarimah Ta’zir.
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas).
Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu:
i. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, baik itu shubhat fi al fi’li, fi al fa’il, maupun fi al mahal, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
ii. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
iii. Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

Dilihat dari haknya hukuman ta’zir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta’zir adalah pengausa atau imam namun diperkenankan pula untuk:
1) Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepada anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
2) Majikan; seorang majikan boleh menta’zir hambanya baik yang berkaitan dengan hak dirinya maupun hak Allah.
3) Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istrinya. Apbila istrinya melakukan nusyuz.

Hukuman hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta’zir antara lain:

1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.

2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.

4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, “Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah.”
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.”

7. Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, “Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman.” Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.

c. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
1. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya.
2. Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.
Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.
3. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.

4. Di Bawah Umur
Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.
Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kdua perkara tersebut.







BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir.
Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan hukuman hadd. Sementara qishosh berada pada posisi diantara hudud dan ta’zir dalam hal beratnya hukuman. Ta’zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara jnis-jenis hukuman yang lain.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat dihapuskan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan




DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1991
_______, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1993,
Amir Nuruddin, Ijtihad Umar Ibnu Al-Khattab, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1991
Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islaam, Penerbit PT aal-Ma’arif, Bandung, 1991.